Ruang Karpet

Ruang sendiri selalu lebih nyaman dibanding di ruang orang lain, apapun keadaannya. Seperti ruangan ini. Ruang yang tak luas juga tak sempit, dibuat senyaman mungkin seperti di ruma sendiri, karena waktu siang hari lebih banyak dihabiskan disini. Mulai dari beli karpet hijau, kesukaan, pilih meja ukuran rendah lesehan pun sesuai keinginan si penghuninya. Betah.
Namun, kenyamanannya terusik, lisan yang berisik. Hati licik yang berbisik. Baiklah, bukankah Allah memberi kita kemampuan beradaptasi dengan lingkungan baru, maka beradaptasilah.
Bismillah…

Memungut Jejak

Ketakutan itu seolah tak pernah pergi menjauh. Ia selalu datang tanpa diundang, bahkan saat hanya ada aku. Saat ini aku hanya bisa memunguti jejak masa lalu. Aku berusaha membangun kepercayaan diriku padanya lagi dan lagi, aku harus mengorbankan setiap jejak rasa sakit dan penyesalan.

Ketakukan itu seolah tak pernah beranjak sedikitpun. Ia selalu datang menjadi bayangan kelam. Aku berusaha menepis bahwa tak ada namanya karma, bahwa itu hanya terjadi satu kali saja selamanya.

Ketakutan itu seolah tak pernah bosan menemaniku. Ia selalu menjelma menjadi wajah yang seakan mendekat, bukan punggung yang terus menjauh. Aku berusaha berlari sekencang mungkin, agar ia tak pernah lagi menemui aku atau siapapun.

Terimakasih, aku akan berusaha sekuat mungkin berdamai dengan masa lalu, memaafkanmu, tanpa alasan. Jika tak perlu alasan untuk mencintai, seharusnya tak perlu alasan untuk memaafkan.

harimu

Esok adalah harimu, hari dimana sebuah nazar itu terucap. Hari ketika satu hati teramat bahagia. lebih dari hati seorang perempuan yang teramat mencintaimu. Esok adalah harimu, hari ketika aku selalu ingat janji itu.
Hari ketika, aku merasa tidak lebih darimu, dan hari dimana aku mulai menyayangimu, selalu.
selamat harimu.

#aku yang masih belum bisa mengungkapkan rasa padamu.

Shadow

“Terimakasih atas pelajaran berharga…” Pelajaran yang tak mungkin dilupakan selamanya. Terimakasih telah meninggalkan jejak yang melekat hingga bayangan itu semakin pekat saat malam semakin gelap.

Secarik kertas itu tergeletak begitu saja di atas lantai, ruang kosong, tak bertuan… Seberkas cahaya turut masuk saat pintu kamar itu terbuka. Apek. Tak terawat. Dia mengambil botol minumnya, yang entah kapan terakhir kali dicuci. Mengisinya dengan air secukupnya, duduk menatap laptopnya yang sama kusam dengan dirinya. Lamat- lamat, kepala tertunduk… Ia tak peduli lagi sekitar. Ia bahkan tak sadar tak tersisa lagi satu potong bajupun di lemari klasiknya.

Keadaannya tak jauh berbeda ketika terakhir kali bertemu denganku. Tak kutemukan tatapan matanya yang optimis, hanya mata sayu yang menyimpan banyak rasa. Tak kutemukan tawa riangnya, hanya tawa sekedarnya. Sungguh, sejenius apapun kau menyembuyikan segala rasa dariku, sungguh sejauh apapun kau lari dariku, aku dapat merasakan jejakmu.

Seperti adegan lambat dalam film drama, selangkah kakiku, hatiku tetap tak beranjak menatap punggungnya. Dia tak pernah benar- benar berani menatapku. Dan aku pun tak pernah benar- benar berani memeluknya. Terimakasih, karena kau berhasil merubah jejak masa lalu, hingga terlalu sulit untuk menemukannya kembali.

#hey, apa kabar? menyapamu.

tersesat

Tersesat. Hingga dia seperti tak kenal perempuan itu. Sepertinya ia sudah terlalu jauh tersesat, ia lupa jalan pulang hingga seberkas cahaya menuntunnya pulang, melewati jalan setapak. Tapi lagi- lagi ia seperti tak mengenal sosok itu, sosok yang selalu siap menerima apapun keadaannya, perempuan yang yang tak pernah lelah berdo’a untuknya saat dia ada maupun ketika ia tersesat.

p e r e m p u a n

Hati itu tetap hati seorang wanita, hati yang selalu menyimpan semua rasa sendiri.
Hati yang tanpa pamrih menerima semua kenyataan di hidupnya. Hati yang tak pernah menyerah meskipun lelah.
Hati yang dulu penuh cinta dan teramat lembut. Hati yang menyenangkan dan menenangkan di setiap keadaan. Hati yang selalu mencoba tersenyum, senyum yang semakin lama terlihat berat.
Hati yang terpaut pada Rabb- nya dan pada seorang yang ia cintai, suka dan duka selama lebih dari dua dekade.
Lalu sekuat apa ia mampu bertahan? Bagaimanapun debur ombak menghantam perahunya, ia slalu yakin, ada Rabb nya yang Maha Segala, maka ia bertahan, karena segalanya telah tertuliskan.

#apapundimanapunkapanpunbagaimanapun_engkau_tetaplah_kau_terhebat

Punggung

aku ikhlas, namun tetap saja aku tak kuasa melihat punggung itu menjauh, bahkan beranjak sedikit pun

tak berguna lagi, bertanya kenapa harus seperti ini. tak berguna. nasi sudah menjadi bubur, tapi aku tak suka bubur itu. dia bilang, “tambahkan saja bumbu, atau sedikit cakue kesukaan mu, kalau perlu, masak lagi, tambahkan lagi bumbu, tambahkan kaldu, tambahkan suwir ayam atau apasajalah…”

aku tetap tak suka bubur itu. entahlah, kapan. smoga esok, lusa atau suatu hari nanti aku menemukan racikan yang pas, agar bubur itu bisa kunikmati…

hingga aku bisa ikhlas, jika punggung itu harus menjauh dariku. smoga tidak. smoga punggung itu tetap bisa kulihat, sampai kapan pun, selamanya. tak hanya di mata, tapi di hati kami.

Mendung

Mendung. Berharap yang terjadi tadi malam adalah mimpi buruk, beberapa kali memejamkan mata, berulang kali menampar diri. Ternyata realita. Nyata. Semua lembaran kisah puluhan tahun itu, muncul begitu saja. Bertebaran memenuhi isi kepala. Ah, ini lebih pusing dari pada kemarin. Lembaran itu tiba- tiba saja ternoda tinta yang tak sengaja tumpah tepat di lembaran paling atas. Semua lembaran itu ternoda. Titik.

Berkali- kali mencoba membersihkannya, noda itu memudar, tapi menyebar semakin menyebar. Aku kehabisan akal untuk membersihkannya. Aku hanya menangis di sudut kamar. Merasa semakin tersudut. Kacau. Aku mencoba memejamkan mata lagi dan lagi. Semakin ingin lari, maka semakin aku tak mampu menjauh sedikitpun. Mendung, sedih rasanya semua lembaran itu rusak, karena noda setetes. Sementara aku harus menyimpannya, bahkan menyembunyikannya rapat di sudut hati ini, agar tak ada orang yang menemukannya. Kecuali dia yang juga bersamaku saat menemukan semua lembaran itu ternoda.

Dan dia, memintaku untuk menyimpannya, hanya kami saja. Dan aku mengiyakannya, aku terlanjur berjanji padanya. Saat ini jangan paksa aku memberitahu dimana kusimpan lembaran ternoda itu. Jangan! Setidaknya aku berusaha menepati janji padanya, yang sama sedihnya denganku. Setidaknya aku berusaha menjaga kepercayaannya. Mungkin aku bisa dengan mudah tersenyum dan berusaha mencair dengan orang disekelilingku, tapi dia, sejak dulu ia selalu menyimpannya sendiri, diantara banyak orang yang menyayanginya, mengaguminya dan siap mendengarkannya.

Mendung. Begitu saja. Semoga segera berganti pelangi.