Punggung

aku ikhlas, namun tetap saja aku tak kuasa melihat punggung itu menjauh, bahkan beranjak sedikit pun

tak berguna lagi, bertanya kenapa harus seperti ini. tak berguna. nasi sudah menjadi bubur, tapi aku tak suka bubur itu. dia bilang, “tambahkan saja bumbu, atau sedikit cakue kesukaan mu, kalau perlu, masak lagi, tambahkan lagi bumbu, tambahkan kaldu, tambahkan suwir ayam atau apasajalah…”

aku tetap tak suka bubur itu. entahlah, kapan. smoga esok, lusa atau suatu hari nanti aku menemukan racikan yang pas, agar bubur itu bisa kunikmati…

hingga aku bisa ikhlas, jika punggung itu harus menjauh dariku. smoga tidak. smoga punggung itu tetap bisa kulihat, sampai kapan pun, selamanya. tak hanya di mata, tapi di hati kami.

Leave a comment